Satu Hari Menjadi Minoritas : Harmoni dalam Kebhinekaan

Oleh:









Muhammad Romyani
Mahasiswa Prodi Agribisnis
Univ. Sultan Ageng Tirtayasa 

    Sebagai negara dengan keberagaman suku dan budayanya, Indonesia menjadi negara yang memiliki masyarakat dengan kehidupan multikultural dan memiliki warna tersendiri bagi negara lain. Sayangnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum siap menerima keberagaman tersebut. Hal itu menimbulkan konflik-konflik yang disebabkan oleh perbedaan. Belakangan, konflik antar agama, konflik antar suku terjadi di Indonesia. Kita dibuat terpecah-belah demi kepentingan beberapa pihak. Penulis berbincang dengan Mahasiswa dari berbagai latar belakang budaya, mulai dari Putra/i Papua, Himpunan Mahasiswa Nasrani dan Mahasiswa Kristiani yang ada di lingkungan Universitas Samudra untuk membicarakan minoritas, mayoritas khususnya di Kota Langsa dan bagaimana kita bisa saling menjaga.

Wawancara bersama Bang Yendi (Mahasiswa Universitas Samudra dari Suku Batak, Kota Binjai Sumatera Utara)

Bagaimana menyikapi toleransi atas perbedaan agama di Aceh?

Yaitu dengan saling menghargai satu sama lain. Misalkan dalam hal beribadah, jika agama kita atau agama orang lain sedang melakukan ibadah sebaiknya kita tidak mengganggu orang tersebut. jawab bang Yendi.

Saling menghargai, tidak perlu mengusik orang lain apalagi hal yang berkaitan dengan agama, melakukan kegiatan seperti biasa tidak perlu ikut ikutan membahas masalah agama seperti yang sedang terjadi di media sosial sekarang. Menjaga bahasa berbicara dengan masyarakat dan juga teman yang memang warga asli Aceh. lanjut bang Yendi.

Wawancara bersama Kak Yuni (Baju Oren jaket abu-abu, Mahasiswi Nasrani Universitas Samudra dari Sibolga, Sumatera Utara)

Sebagai seorang minoritas, apakah Anda pernah mengalami pengalaman mengenai intoleransi? dan dampak terbesarnya apa?

Pernah. jawab Kak Yuni.

Salah satunya perkumpulan kami yang Kristen tidak diterima pihak kampus. Pengalaman sebagai minoritas agama Kristen di Aceh, terkadang ada saja orang yang tidak suka melihat kami.

Saya pernah di tegur cara berpakaian saya, padahal saya rasa pakaian saya tidak ada yang salah, saya pakai baju lengan panjang dan rok panjang tapi di tegur oleh seorang bapak yang mengendarai mobil bertuliskan Syariat Islam. Nah saya ditegur di depan umum menggunakan pengeras suara (Toa) yang suaranya keras. Padahal saya rasa, pakaian saya sudah sopan. Kemudian pernah juga kami sedang latihan di gereja, sebuah lagu untuk persembahan di gereja untuk hari minggu, nah kami di lempar batu oleh anak-anak putra daerah sini dan pernah juga di tanya oleh seorang bapak-bapak ketika kami sedang melakukan donasi untuk tsunami di Kalimantan, kenapa saya tidak pakai jilbab dan saya jawab karena saya Kristen lalu bapak itu menjawab untuk apa minta donasi, nanti tidak dikirim uangnya, seperti bapak itu tidak mempercayai kami, padahal kami minta donasi atas nama prodi bukan nama Kristen. Tapi di balik itu semua saya tidak pernah merasa takut atau merasa tidak nyaman, malahan saya lebih merasa yakin dan percaya dengan kepercayaan yang saya punya sekarang dan dari sini kita belajar bahwa lingkungan sini ternyata seperti ini dan itu. lanjut Kak Yuni.

Apakah kalian tidak pernah minder atas perbedaan agama di Aceh, sebagaimana kita ketahui Aceh kental atas Syariat Islamnya?

Tentu saja tidak! Jawab kak Yuni dengan tegas.

Tentu saja tidak, minoritasnya sebuah kepercayaan bukan alasan untuk menjadi minder di sebuah tempat. ujar Kak Yuni melanjutkan.

Cukup percaya saja sama Tuhan pasti diberikan yang terbaik untuk kita. Tidak perlu merasa malu, merasa di kucilkan apalagi minder. ucap Kak Mepa menambahkan (Kak Notinus Mepa Srikanth, Mahasiswa dari Papua).

Apa hal baik yang bisa dibawa dari tanah kelahiran kalian untuk Aceh dan begitu pun sebaliknya?

Seperti yang kita lihat kota Langsa ini sudah banyak perubahan semenjak Unsam di negeri kan dan banyak dari luar Aceh datang ke Langsa. Di Aceh kami membawa budaya Batak kami, cara bergaul kami dan cara berbicara yang terkenal galak tapi sopan, dan saya lihat banyak disini orang Medan yang tentunya di masyarakat sekitar Langsa sendiri khususnya Universitas Samudra sudah ramai oleh kedatangan mahasiswa dari daerah sekitar Sumatra Utara yang terkenal dengan suku Batak nya. Saya lihat Langsa ini maju setelah daerah lain masuk ke Langsa. Mulai dari orang jualan sudah banyak saya lihat dari sebelumnya, warung kopi, toko pakaian dan Unsam juga membangun gedung baru. Intinya Langsa sudah lebih baik sekarang dari pada dahulu sebelum Unsam di sahkan menjadi negeri.

Kemudian kami melanjutkan wawancara kepada kawan-kawan mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Nasrani, Mahasiswa dari Papua dan Mahasiswa dari Suku Batak.

Bagaimana pendapat kalian tentang polisi Syariah Islam di Aceh, misalnya tentang hukuman cambuk bagi yang melakukan zina?

Itu sangat bagus, karena zina itu salah satu dosa dan itu tidak dibenarkan oleh agama mana pun dan daerah mana pun. Hukuman cambuk bagi yang melakukan zina saya mendukung bagian itu, karna dimanapun dan agama apa pun tidak ada yang membenarkan zina. Zina itu dosa yang sangat besar apabila dilakukan. Apabila di cambuk mungkin itu salah satu agar pelaku berhenti melakukannya.

Wawancara bersama Kak Mariana (Baju biru paling kanan, Mahasiswi Nasrani Universitas Samudra dari Simalungun, Sumatera Utara)

Mengapa memilih Aceh sebagai tempat perkuliahan?

Mungkin yang ada dipikiran saya dulu bahwa Universitas Samudra ini adalah kampus yang lumayan dekat dengan kota Medan dan jika dipikir-pikir ini memang sudah jalannya Tuhan. ujar Kak Mariana.

Saya memilih Aceh tepatnya di Langsa ini karena tidak begitu jauh dari Medan hanya membutuhkan waktu 4-5 jam daripada wilayah lain. lanjut Kak Mariana.

Kemudian pada saat itu Universitas Samudra sudah menjadi Universitas Negeri karena memang sebelumnya swasta dan Prodi yang saya ambil lebih banyak peluang masuk nya di bandingkan jika saya memilih Universitas lain pada saat seleksi..

Apakah Anda pernah mengalami diskriminasi dari mayoritas ? jika iya, bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?

Tidak pernah!

Saya tidak pernah mengalami atau merasakan diskriminasi, ujar kak Mariana.

Perlu diketahui Langsa ini berbeda sedikit dengan wilayah Aceh lainya karna menurut saya di Langsa banyak pendatang juga maksudnya warga setempat kebanyakan warga pindahan seperti orang Jawa dan batak, bukan 100% warga Aceh asli. Jadi warga disini cukup baik dan ramah walaupun tidak semuanya. Tapi bisa di bilang Langsa adalah Aceh yang lumayan bagus bagi minoritas agama lain , artinya Langsa juga cukup baik dan ramah masyarakat nya di bandingkan daerah lain yang ada di Aceh.

Wawancara bersama Kak Notinus Mepa Srikanth (Mahasiswa Universitas Samudra dari Timika, Papua)

Bagaimana rasanya jauh dari tanah kelahiran untuk menempuh perkuliahan?

Rasanya biasa saja karena dari SD sudah jauh dari orang tua dan sudah jauh dari tanah kelahiran. Rasanya jauh dari tanah kelahiran untuk menempuh pendidikan itu memang sudah menjadi risiko untuk merasakan tidak nyaman atas tempat baru, atau teman kurang cocok, kadang rindu pada keluarga. Tapi puji syukur saya merasa biasa saja karna saya sudah terbiasa jauh dari orang tua saat menempuh pendidikan.

Apakah ada perbedaan sikap dalam menanggapi perbedaan di tempat asal Anda dan tempat sekarang?

Ada, karena kemanapun kita pergi kita harus sopan karena kita disana tamu, ujar Kak Mepa.

Perbedaan ras, suku, agama tentu ada antara tempat asal dan tempat sekarang, tapi sikap kita dalam perbedaan itu tentu saling menghargai antar satu sama lain, tidak mengolok-olok, saling toleransi, intinya ya saling mengerti satu sama lain.

Bagaimana Anda menyikapi perbedaan sangat mencolok di Aceh ini?

Saling menghargai, memahami dan tidak memaksakan kehendak. Perbedaan itu biasa kita alami dimana pun berada. Hanya saja di Aceh agak istimewa sedikit karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Jadi itu menurut saya hal biasa tidak ada yang harus dilakukan kecuali saling menghargai, ya dimana pun kita harus saling menghargai dan mengikuti peraturan daerah misalnya dilarang bertamu ke kontrakan lawan jenis, dan lain sebagainya.

Demikian...

    Pola pikir dan stigma masyarakat terkait kelompok mayoritas dan minoritas cenderung membuat seseorang berpikir bahwa mereka akan diuntungkan jika menjadi kelompok mayoritas, dan akan dirugikan jika menjadi kelompok minoritas. Akan tetapi, apa yang diasakan justru menunjukkan bahwa kita tetap dapat merasakan manfaat di mana pun kita berada jika kita mau dan mampu mencari dan menghargai setiap proses pembelajaran yang kita terima. Sebagai kelompok minoritas dalam hal agama, para mahasiswa ini menjadikan ke-“minoritas”-an nya untuk memacu diri dalam memahami dan mendalami ajaran agama yang dipeluknya.. Selain itu, mereka juga merasa sangat beruntung karena berada di tengah lingkungan mayoritas yang berbeda karena mereka menjadi memiliki lebih banyak sarana untuk belajar mengenai perbedaan tersebut. Hal itu tentunya membantu mereka dalam membuka pandangan dan mengembangkan sudut pandang yang beragam dalam melihat suatu permasalahan. Sayangnya, pola pikir terkait kelompok mayoritas-minoritas seperti yang disebutkan di awal sering kali digunakan sebagai sarana oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memecah belah persatuan demi kepentingan golongan mereka sendiri. Maka dari itu, sangat diperlukan kesadaran masyarakat untuk mengubah pola pikir mayoritas-minoritas tersebut.

    Tentunya memang bukan hal yang mudah untuk mengubah suatu pola pikir dalam masyarakat luas yang telah berkembang secara mendalam dalam waktu yang lama. Semuanya bisa dimulai dengan memanfaatkan komunitas akademik dan berpendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. Negara kita memiliki banyak kaum terpelajar yang sepatutnya memiliki wawasan yang luas dalam memandang suatu permasalahan.

    Kendala pasti ditemukan dalam berbagai upaya yang menuntut adanya perubahan dari masyarakat banyak. Akan tetapi, selama kita mau berusaha untuk melakukan perubahan, pasti ada perubahan yang terjadi meskipun dalam skala yang sangat kecil. Keyakinan bahwa semua hal besar bermula dari hal kecil juga dapat membangkitkan semangat untuk tidak lelah melakukan perubahan-perubahan kecil. Selama kita menyertainya dengan cinta dan ketulusan, tidak akan ada upaya yang sia-sia.

    Penulis ingin membagikan pengalaman pribadi yang penulis rasakan sesuai dengan kondisi dan hasil mini riset yang telah dilakukan. Penulis berharap, penyalahgunaan status mayoritas-minoritas tidak terus terjadi dan memecah-belah negeri Indonesia yang tercinta.


"Bertukar Sementara, Bermakna Selamanya"



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Ujung Barat Pulau Jawa Menuju Ujung Barat Indonesia